Minggu, 23 Januari 2011

KISAH LA BALAHEWU


Oleh: Syahrul

Kisah Labalahewu merupakan salah satu sastra lisan masyarakat Baruta. Sebuah kisah yang selalu diceritakan para orang tua sebagai pengantar tidur atau pengisi waktu luang anak-anaknya. Suatu cerita yang mengisahkan perjuangan sesosok manusia dalam mempertahankan hidupnya dari gangguan sang raksasa. Sang raksasa bernama Wakinakinamboho suka menyantap daging manusia. Untuk jelasnya ikuti cerita di bawah ini.

Pada suatu hari datanglah sebuah armada di tanah Baruta, armada tersebut berasal dari daerah Nusa Tenggara yang terdiri dari 6 laki-laki dan 1 perempuan, mereka mendarat dan berlabuh di sebuah pelabuhan kecil bernama WAMAGOTE, mereka hidup menangkap ikan dengan menggunakan sebuah perangkap ikan dari anyaman bambu yang disebut “bubu”. Mereka hidup dan menjadikan gua sebagai tempat tinggalnya, Gua pertama yang mereka tempati adalah Gua Wakansoha, Gua tersebut masih bisa kita saksikan keberadaannya yang terletak di desa Baruta tepatnya berada di bagian atas sumur umum Desa Baruta. Nama gua Wakansoha diambil dari nama perempuan yang menjadi bagian dari cerita ini.

Para anggota armada tersebut hidup rukun dan saling menyayangi serta saling menjaga dari segala gangguan dan ancaman, hingga suatu hari terdengarlah kabar tentang kedatangan seorang perempuan raksasa yang bernama WAKINAKINAMBOHO. Raksasa tersebut kerap menjadikan manusia sebagai santapannya, tidak hanya besar tubuhnya, akan tetapi sakti juga orangnya, ia hidup dan menjadikan pohon besar sebagai rumahnya. Mendengar kabar tersebut maka takutlah semua anggota armada ini, mereka pun mulai terpencar dan bersembunyi dari kejaran sang raksasa. Satu demi satu mereka berhasil ditangkap dan mati dimakan sang raksasa, sehingga tinggallah seorang perempuan dan seorang laki-laki yang tersisa, perempuan tersebut bernama Wakansoha dan yang laki-laki bernama La Balahewu. Hingga pada suatu hari persembunyian mereka diketahui oleh sang raksasa, Wakansoha pun tertangkap sedangkan La balahewu tak kuasa melawan raksasa dan memilih menyelamatkan diri dengan bersembunyi di dalam hutan. Sang raksasa pun senang dan ingin menjadikan Wakansoha sebagai santapannya, menyadari hal itu maka bergetarlah tubuh Wakansoha karena ketakutan, namun Wakansoha tidak kehabisan akal, ia pun berkata kepada raksasa. “Nek…... janganlah saya dijadikan santapan, lebih baik saya dibiarkan hidup dan menjadi abdi yang akan mengurus semua kebutuhan dan keperluan nenek”. Mendengar itu sang raksasa pun termenung memikirkan ucapan wakansoha, “mungkin ada benarnya ucapan anak ini…, kalau saya biarkan hidup, mungkin dia akan lebih berguna”. Setelah merenung sejenak, sang raksasa pun berkata “Baiklah…, saya tidak akan memakanmu, tapi kau akan saya jadikan sebagai budakku yang akan mengurus dan melayaniku”. Mendengar ucapan sang raksasa, maka senanglah hati Wakansoha karena tidak jadi dimakan sang raksasa. “Terima kasih Nek…, Saya akan mengabdikan hidup saya untuk melayani nenek”. Sejak hari itu, Wakansoha mulai mengurus segala kebutuhan sang raksasa, mulai dari menyediakan air sampai membersihkan rumah.

Pada suatu hari ketika Wakansoha sedang mencarikan kutu rambut sang raksasa, Wakansoha pun dengan cerdik bertanya pada sang raksasa. “Nek…, apa yang engkau takuti di dunia ini, supaya ketika dia ada di sini maka saya akan mengusirnya”. Sang raksasa pun berkata, “Ha ..ha..ha, tidak ada yang saya takuti di dunia ini kecuali Ku’u-ku’usi (sejenis serangga yang hidup di pohon)”. Mendengar jawaban itu, Wakansoha pun senang karena telah mengetahui kelemahan sang raksasa. Ia pun mempunyai niat untuk membunuh sang raksasa. Wakansoha lalu berusaha membuat sang raksasa tertidur dengan meninabobokannya dan menyanyikan lagu agar sang raksasa cepat tertidur. Setelah beberapa lama maka sang raksasa pun tertidur. Melihat itu Wakansoha pun dengan cepat mengikat rambut panjang sang raksasa pada cabang-cabang kayu besar. Setelah rambut sang raksasa terikat kuat pada cabang-cabang kayu, maka ia pun turun dari pohon tersebut dan pindah pada pohon lain, dan berteriak kuukuusi……, kuukuusi……, ia bersuara menirukan suara belalang yang ditakuti sang raksasa. Mendengar itu sang raksasa pun terbangun ketakutan dan ingin melarikan diri dari pohon yang ditempatinya, tapi karena rambutnya terikat kuat pada cabang pohon, ia pun terbangun namun terjatuh kembali di tempat tidurnya, beberapa kali ia berusaha bangun namun beberapa kali pula ia terjatuh dan terluka karena kepalanya terbentur mengenai cabang kayu yang dijadikan sebagai bantal. Akhirnya sang raksasa pun mati karena luka di kepalanya. Setelah melihat hal tersebut maka Wakansoha pun senang dan riang hatinya karena ia telah berhasil membunuh raksasa yang selama ini telah membunuh teman-temannya. Lalu, ia pun berusaha mencari La Balahewu yang melarikan diri ke hutan dan mengabarinya tentang kematian sang raksasa. Setelah sekian lama maka bertemulah kedua insan ini dan berjanji untuk hidup membentuk keluarga. Dari hasil perkawinan mereka, maka lahirlah anak-anak mereka yang bernama La Kila, Samparaja, Bibito, La Use, La Luulu, La Guncu, dan La Korempasa. Nama-nama tersebut biasa disebut pada upacara memohon hujan pada masyarakat Baruta karena nama-nama anak tersebut merupakan unsur dan pembentuk hujan. Konon ketujuh anak tersebutlah yang melahirkan nenek moyang masyarakat Baruta.

Demikian kisah ini mudah-mudahan bermanfaat dan menghibur.

Selasa, 18 Januari 2011

Think-Pair-Share (TPS)

Mengajukan pertanyaan selama pembelajaran di kelas adalah cara yang tepat untuk melibatkan siswa secara aktif, mengukur pemahaman siswa, atau mengarahkan siswa dalam menerapkan pengetahuan baru. Salah satu strategi yang memadukan pola berpikir individu dan kelompok adalah Think-Pair-Share (TPS). Strategi ini dikembangkan oleh Frank Lyman dari university of Maryland (Slavin, 2005: 132).

Pembelajaran Think Pair Share memiliki prosedur yang diterapkan secara eksplisit untuk memberikan siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab dan saling membantu satu sama lain. Dalam strategi ini guru hanya berperan sebagai fasilitator sehingga guru menyajikan satu materi dalam waktu pembahasan yang relatif singkat. Setelah itu giliran siswa untuk memikirkan secara mendalam tentang apa yang telah dijelaskan

Slavin (2005: 132) menjelasan bahwa,
when the teacher presents a lesson to the class, student sit in pairs within their teams. The teacher poses questions to the class. Students are instructed to think of an answer on their own, then to pair with their partner to reach consensus on an answer. Finally, the teacher asks students to share their agreed-upon answer with the rest of the class.

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa ketika guru mengajar di kelas, siswa duduk berpasangan dalam timnya. Guru mengajukan pertanyaan dalam kelas. Siswa diarahkan untuk memikirkan sebuah jawaban dari mereka sendiri, kemudian duduk berpasangan dengan pasangannya untuk mencapai suatu jawaban yang disepakati. Terakhir guru meminta siswa untuk berbagi pendapat dengan kelompok lain dalam kelas.

Menurut Arends & Kilcher (2010: 316),

In Think–Pair–Share, the teacher poses a question, individual students think about (and record) their answer. Individuals then pair with another student to share their answer. The teacher calls on individuals or pairs to share with the large group.

Dalam Think-Pair-Share, guru mengajukan sebuah pertanyaan, setiap siswa berpikir (dan mengingat) tentang jawabannya. Setiap siswa kemudian berpasangan dengan siswa lainnya untuk berbagi jawaban. Guru menyebut salah satu siswa atau pasangan untuk berbagi dengan kelompok yang lebih besar.

Kinzie & Markovchick (2005: 1) menjelaskan,
Think-Pair-Share: This strategy is designed to encourage student involvement. First, participants listen to the teacher's question. Then they think of a response. They pair up with someone and discuss their responses. Finally, they are asked to share their responses with the whole group. Usually a time limit is set for each step.

Pernyataan di atas mengandung makna bahwa Think-Pair-Share merupakan strategi yang dirancang untuk mendorong keterlibatan siswa. Pertama, siswa mendengarkan pertanyaan guru. Kemudiak memikirkan sebuah jawabannya. Mereka berpasangan dengan seorang siswa lainnya dan mendiskusikan jawaban mereka. Terakhir, mereka diminta untuk menjelaskan atau berbagi jawaban dengan keseluruhan kelompok. Pada umunya tiap tahap ditentukan waktunya

Menurut Ledlow (2001: 1),

Think-Pair-Share is a low-risk strategy to get many students actively involved in classes of any size. The procedure is simple: after asking a question, tell students to think silently about their answers. As a variation, you might have them write their individual answers. (Depending on the complexity of the question and the amount of time I think is appropriate for the activity, I give them anywhere from 10 seconds to five minutes to work individually.) Then ask them to pair up with a partner to compare or discuss their responses. Finally, call randomly on a few students to summarize their discussion or give their answer.

Menuru Ledlow, Think-Pair-Share adalah strategi berisiko rendah untuk mendapatkan banyak siswa secara aktif terlibat dalam kelas dari berbagai ukuran. Prosedurnya sederhana: setelah mengajukan pertanyaan, guru memberitahu siswa untuk berpikir tentang jawabannya dengan diam atau tanpa bertanya pada teman. Sebagai variasi, siswa dapat diarahkan untuk menulis jawaban masing-masing. (Tergantung pada kompleksitas dari pertanyaan dan jumlah waktu, saya pikir cocok untuk kegiatan ini diberikan waktu dari 10 detik sampai lima menit untuk bekerja secara individual.) Kemudian minta para siswa untuk berpasangan dengan pasangannya untuk membandingkan atau mendiskusikan tanggapan mereka. terakhir, guru memanggil secara acak beberapa siswa untuk meringkas diskusi mereka atau memberi jawaban mereka.

Rahvard (2010: 4) menjelaskan bahwa,

Think-Pair-Share is helpful because it structures the discussion. Students follow a prescribed process that limits off-task thinking and off-task behavior, and accountability is built in because each must report to a partner, and then partners must report to the class.

Think-Pair-Share sangat membantu karena diskusinya terstruktur. Siswa mengikuti sebuah proses yang ditentukan dengan membatasi pemikiran off-task dan off-task behavior, dan akuntabilitas yang dibangun karena masing-masing harus melaporkan kepada seorang pasangan, dan kemudian pasangan harus melaporkan kepada kelas.

Arends & Kilcher (2010: 247) menjelaskan tahapan penerapan TPS,

TPS consists of three steps:
• Step 1, Thinking: The teacher poses a question or issue and asks students to spend a few minutes thinking by themselves.
• Step 2, Pairing: Next, students are asked to pair with another student and discuss what they have been thinking about. Four or five minutes are normally allocated for this step.
• Step 3, Sharing: Pairs of students are then asked to share what they have been discussing with the whole class. They are asked to report not only the content of the discussion but also about the way they have been thinking.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Think-Pair-Share terdiri dari tiga tahap:
1. Thingking: Guru mengajukan sebuah pertanyaan atau isu dan meminta setiap siswa mempergunakan waktu beberapa menit untuk memikirkan jawaban mereka secara mandiri untuk beberapa saat.
2. Pairing: selanjutnya, siswa diminta untuk berpasangan dengan siswa lain dan meminta mendiskusikan apa yang telah dipikirkan pada tahap pertama. 4 – 5 menit adalah waktu normal yang diberikan untuk tahap ini. Interaksi yang diharapkan adalah siswa dapat berbagi jawaban dari pertanyaan atau ide bila persoalan telah diidentifikasi
3. Sharing: sepasang siswa kemudian diminta untuk berbagi dan mereka mendiskusikannya dengan seluruh siswa dalam kelas. Mereka diminta tidak hanya mendiskusikan isinya tetapi juga tentang cara mereka memikirkannya.
Salah satu ciri pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) adalah kemampuan siswa untuk bekerja sama dalam kelompok kecil yang heterogen. Masing-masing anggota dalam kelompok memiliki tugas yang setara. Karena pada pembelajaran kooperatif keberhasilan kelompok sangat diperhatikan, maka siswa yang pandai ikut bertanggung jawab membantu temannya yang lemah dalam kelompoknya. Dengan demikian, siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilannya, sedangkan siswa yang lemah terbantu dalam memahami permasalahan yang diselesaikan dalam kelompok tersebut.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat kita simpulkan bahwa pada pembelajaran cooperative learning type Think-Pair-Share (TPS), siswa dikelompokan secara berpasangan, dapat berpasangan antara satu siswa dengan satu siswa, satu siswa dengan dua siswa, atau dua siswa dengan dua siswa, yang mengakibatkan terjadinya stimulus dan respon diantara siswa tersebut. Dalam pengelompokannya, siswa dipasangkan secara heterogen berdasarkan nilai awal mereka yang bertujuan untuk mengefektifkan proses belajar kelompok.
Model ini memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir sendiri terlebih dahulu sebelum bekerjasama dengan kelompoknya dan berbagi ide. Maksud dari berbagi ide adalah setiap siswa saling memberikan ide atau informasi yang mereka ketahui tentang masalah yang diberikan untuk memperoleh kesepakatan terkait pemecahana suatu masalah.
Sistem penilaian pada cooperative learning type TPS telah mengadaptasi skor kemajuan Slavin, seperti yang dijelaskan Arends & Kilcher (2010: 320)


Kagan (1994) has adapted Slavin’s improvement scoring system. He believes that students should receive two scores on quizzes and assignments: an individual score (in a square) and an improvement score (in a circle). Students are given 0, 1, 2, or 3 points each week, depending on how much they improve. Students who get 100 always get three points, and those who score between 95 and 99 get at least two points.


Kagan (1994) telah mengadaptasi sistem skor perbaikan Slavin. Ia percaya bahwa siswa harus menerima dua nilai pada kuis dan tugas: skor individu (dalam persegi) dan skor perbaikan (dalam lingkaran). Siswa diberi 0, 1, 2, atau 3 poin setiap minggu, tergantung pada seberapa banyak mereka memperbaiki. Siswa yang mendapatkan 100 selalu mendapatkan tiga poin, dan mereka yang skor antara 95 dan 99 mendapatkan setidaknya dua poin.

Metode Matematika (Mathematical methods)

Pada hakekatnya Matematika adalah ilmu yang bersifat abstrak. Hal yang abstrak ini tentunya akan menjadi kendala tersendiri bagi seseorang dalam memahaminya. Oleh karena itu matematika yang abstrak perlu dimanipulasi ke dalam bentuk nyata dengan menggunakan permasalahan sehari-hari yang biasa dijumpai oleh siswa dalam kehidupannya dengan tujuan membantu siswa dalam memahami suatu konsep yang diajarkan.

Menurut Tran Vui (2006: 1),
The knowledge, skills and mathematical methods are the foundation to achieve the knowledge on science, information and other learning areas where mathematical concepts are central; and apply mathematics in the real-life situations.

Pengetahuan, keterampilan dan metode matematika adalah fondasi untuk mencapai pengetahuan pada sains, informasi dan area belajar lain dimana konsep matematika adalah pusat dan pengaplikasian matematika dalam situasi kehidupan nyata.

Katagiri, (2006: 13) menjelaskan secara detail bahwa yang termasuk mathematical thinking terkait dengan metode adalah:
Inductive thinking, analogical thinking, deductive thinking, integrative thinking (including expansive thinking), developmental thinking, abstract thinking (thinking that abstracts, concretizes, idealizes, and thinking that clarifiesconditions), thinking that simplifies, thinking that generalizes, thinking that specializes, thinking that symbolize, thinking that express with numbers, quantifies, and figures

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa mathematical thinking terkait metode matematika adalah berpikir indukrif, analogi, deduktif, integrasi, mengembangkan pemikiran, abstraksi, menyederhanakan, generalisasi, mengkhususkan, menyimbolkan, dan menyatakan dengan angka, jumlah, dan gambar/bangun.

Sedangkan menurut Stacey, (2006: 1) mendefinisikan kategori ini sebagai,
1). Specializing (trying special cases, looking at examples), 2). Generalizing (looking for patterns and relationships), 3). conjecturing (predicting relationships and results), and 4). convincing (finding and communicating reason why something is true).

Proses berpikir matematika terdiri dari spesialisasi (mencoba kasus khusus, melihat contoh-contoh), generalisasi (mencari pola-pola dan hubungan), menduga (memprediksi hubungan dan hasil), dan meyakinkan (menemukan dan mengkomunikasikan alasan mengapa sesuatu itu benar).

Menilai metode matematika siswa pada pembelajaran matematika dapat menggunakan masalah-masalah kontekstual sebagai materi pengantar. Masalah-masalah kontekstual adalah soal-soal cerita yang berkaitan dengan masalah yang ditemui dalam kehidupan nyata setiap hari. Sebagaimana yang dijelaskan Krygowska (Bonomo, 2006: 3), bahwa “mathematics would have to be applied to natural situations, in which there appear real problems, and to solve itis necessary the use of the mathematical method”. Kalimat di atas menjelaskan bahwa matematika seharusnya diterapkan pada situasi alami, di mana akan muncul masalah nyata, dan untuk menyelesaikannya diperlukan penggunaan metode matematika.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat kita pahami bahwa mathematical thinking yang berkaitan dengan metode matematika adalah proses berpikir matematika dengan menggunakan prinsip-prisip matematika dalam menyelesaikan setiap permasalahan matematika seperti berpikir induktif, deduktif, abstraksi, analogi, menyederhanakan, integratif. Salah satu hal yang bisa memunculkan (eliciting) metode matematika siswa adalah dengan memberikan pertanyaan non rutin, artinya untuk menyelesaikan masalah tersebut, siswa tidak langsung menemukan jawabannya tetapi melalui proses berpikir dan membutuhkan penalaran. Soal yang baik adalah soal kontekstual.

Sikap Matematika (Mathematical attitudes)

Salah satu tujuan pendidikan matematika adalah pembentukan sikap siswa. Olehnya itu, sudah sepatutnya dalam proses pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap siswa terhadap matematika. Hal ini penting mengingat sikap positif terhadap matematika akan berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika

Sikap adalah merupakan suatu komponen yang sangat mempengaruhi keberhasilan program pembelajaran matematika. Seseorang yang memiliki sikap positif akan menunjukkan tindakan yang selalu mengarah pada upaya pencapaian tujuan pembelajaran matematika. Salah satu hal yang perlu diperhatikan seorang pengajar dalam mensukseskan pembelajarannya adalah menciptakan suatu kondisi dan iklim pembelajaran yang bisa merangsang dan meningkatkan sikap positif siswa dalam pembelajaran matematika.

Menurut Sax (1989: 493), “an attitude was defined as a preference along a dimension of favorableness to unfavorableness to a particular group, institution, concept, or object”. Pernyataan di atas menjelaskan bahwa sikap adalah suatu kecenderungan pada sebuah dimensi dari yang disukai sampai yang tidak disukai pada suatu kelompok, institusi, konsep, dan objek tertentu.

Nitko (2007: 451), menegaskan konsep sikap bahwa “Attitudes are characteristics of persons that describe yheir positive and negative feelings toward particular objects, situations, institutions, persons, or ideas”. Sikap adalah karakteristik dari sesorang yang menggambarkan perasaan positif dan negatif mereka terhadap objek, situasi, institusi, seseorang atau ide tertentu.

White, et al. (2006: 2) menyatakan bahwa “attitudes indicate a person’s judgment of performing the behavior as good or bad or that the person was in favour of or against performing the behavior”. Sikap menunjukan keputusan seseorang yang ditunjukkan dalam hal baik atau buruk terhadap sesuatu dalam bentuk perilaku menyokong atau menentang.

Zan & Martino (2007: 2) menyatakan, “attitude toward mathematics is therefore seen as the pattern of beliefs and emotions associated with mathematics”. Sikap terhadap matematika dilihat sebagai pola hubungan dari kepercayaan dan emosi dengan matematika.

Maaß & Schlöglmann. (2009: 22), menjelaskan bahwa “Attitudes may be considered either as propensities toward certain patterns of behavior, or ropensities toward certain kinds emotional feelings in particular domains, e.g. in relation to mathematics”. Dari pernyataan di atas dapat kita pahami bahwa sikap dapat diartikan sebagai kecenderungan terhadap pola tertentu dari tingkah laku atau respon terhadap jenis rasa emosi tertentu dalam domain khusus misalnya yang berhubungan dengan matematika.

Menurut Arcavi (2006: 2), “mathematical thinking related attitudes is intellectual predispositions towards doing mathematics and solving problems including perspectives on what are mathematics and mathematical activity”. Pernyataan di atas menjelaskan bahwa sikap matematika adalah kecenderungan intelektual terhadap matematika dan pemecahan
masalah, termasuk perspektif tentang apa matematika dan aktivitas matematika.

Khalik (2006: 2), menjelaskan pentingnya sikap matematika dalam pembelajaran matematika,

Mathematical attitudes is a very important affective factor in determining students’ behavior in mathematical thinking and problem solving because students’ attempts in mathematical thinking depend on how interested they are in problem solving or the lesson.

Khalik menjelaskan bahwa sikap matematika adalah faktor afektif yang sangat penting dalam menentukan perilaku siswa dalam pemikiran matematika dan pemecahan masalah karena upaya siswa dalam pemikiran matematis tergantung pada bagaimana mereka tertarik dalam pemecahan masalah atau pelajaran.
Defenisi sikap matematika dipertegas oleh Katagiri (2006: 12) bahwa

Mathematical thinking is like an attitude, as in it can be expressed as a state of “attempting to do” or “working to do” something. It is not limited to results represented by actions, as in“the ability to do,” or “could do” or “couldn’t do” something.

Katagiri menegaskan bahwa mathematical thinking seperti sebuah sikap, di dalamnya dapat dinyatakan sebagai keadaan "mencoba untuk melakukan" atau "bekerja untuk melakukan" sesuatu. Hal ini tidak terbatas pada hasil yang diwakili oleh tindakan, seperti dalam "kemampuan untuk melakukannya," atau "bisa melakukan" atau "tidak bisa melakukan" sesuatu.

Lanjut menurut Katagiri (2006: 13), bahwa sikap matematika meliputi:

a. Attempting to grasp one’s own problems or objectives or substance clearly, by oneself
(1) Attempting to have questions
(2) Attempting to maintain a problem consciousness
(3) Attempting to discover mathematical problems in phenomena
b. Attempting to take logical actions
(1) Attempting to take actions that match the objectives
(2) Attempting to establish a perspective
(3) Attempting to think based on the data that can be used, previously learned items, andassumptions
c. Attempting to express matters clearly and succinctly
(1) Attempting to record and communicate problems and results clearly and succinctly
(2) Attempting to sort and organize objects when expressing them
d. Attempting to seek better things
(1) Attempting to raise thinking from the concrete level to the abstract level
(2) Attempting to evaluate thinking both objectively and subjectively, and to refinethinking
(3) Attempting to economize thought and effort


Dari beberapa pendapat para ahli d atas, dapat kita pahami bahwa sikap matematika merupakan suatu kencenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu aktifitas pemecahan masalah matematika. Perubahan sikap seorang siswa dapat diamati dalam proses pembelajaran.

Dalam konteks pemecahan matematika dan aktivitas matematika maka sikap matematika dapat diukur pada empat dimensi pengukuran sikap yang disintesis berdasarkan definisi-definisi di atas yaitu: (1) Memahami masalah dan tujuan serta substansi masalah dengan jelas secara mandiri, (2) Mencoba mengambil tindakan logis, (3) Mencoba untuk mengekspresikan hal-hal dengan jelas dan ringkas, (4) Mencoba mencari penyelesaian yang lebih baik.

Metode yang dianggap paling handal untuk mengungkap sikap seseorang adalah menggunakan daftar pernyataan-pernyataan dari penjabaran tiap indicator sikap matematika yang harus dijawab oleh individu yang disebut sebagai skala sikap.

Jumat, 14 Januari 2011

MENGENAL SEJARAH BARUTA





Perkembangan zaman yang semakin pesat telah mentahbiskan dirinya sebagai sesuatu tuntutan dan tantangan hidup yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Hal ini mengakibatkan pola pikir (mindset) manusia cenderung berpikir, bagaimana mempersiapkan diri agar mampu mengatasi dan memenuhi tuntutan hidup yang ada?, sehingga peristiwa masa lalu (history) seakan terabaikan dan tabu untuk dibincangkan. Tak dapat dipungkiri, sebagian masyarakat Baruta yang hidup sekarang ini, tidak lagi mengenal sejarahnya. Informasi yang semestinya tetap dianggap sebagai pusaka berharga yang harus diwariskan ke generasi selanjutnya telah tereduksi keberadaannya oleh ketidaktahuan generasi sebelumnya. Olehnya itu, penulis mencoba mengangkat tema ini dengan harapan tulisan ini dapat memberikan sedikit “cahaya” di tengah gelap dan suramnya sejarah Baruta, serta mampu menyingkap tabir ketidaktahuan kita tentang eksistensi Baruta sebagai bagian dari urat nadi sejarah Buton.

Banyak hal yang belum penulis masukan dalam tulisan ini karena keterbatasan ruang yang ada, masih banyak informasi yang masih butuh kajian ilmiah agar sejarah Baruta tidak tergusur ke dimensi dongeng yang hanya bisa dijadikan sebagai pengantar tidur si buah hati. Penulis sangat mengharapkan tanggapan dan masukan yang konstruktif agar sejarah Baruta semakin terang benderang dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Asal Kata “Baruta”
Baruta merupakan nama sebuah daerah yang sekarang terletak di kecamatan Sangia Wambulu Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Baruta (baca: rumpun bahuta) sekarang meliputi 4 desa (Desa Baruta, Baruta Lestari, Baruta Analalaki, dan Doda Bahari) merupakan hasil pemekaran dari Desa Baruta.
Menurut sejarah, penamaan Baruta diberikan oleh sultan ke-4 kesultanan Wolio, yang bernama Sultan Dayanu Ikhsanudin (La Elangi)memeruntah tahun 1578 - 1615. Berdasarkan ilmu bahasa, kata Baruta berasal dari bahasa wolio, terdiri dari dua suku kata yaitu kata “Baru” dan “ta”. Baru berasal dari kata “Baro” yang dalam dialek baruta menjadi Baho. Baro berarti penambal atau penggenap (Baro/baho: bahan yang digunakan para nelayan setempat untuk menambal perahu), Sedangkan kata “ta” berarti kepunyaan kita. Namun menurut salah satu tokoh masyarakat Baruta, La Rahali (Alm) menjelaskan bahwa arti baho sebagai penambal merupakan arti kiasan saja karena arti sebenarnya mengandung nilai sejarah/filosofis yang mulia. Penamaan tersebut berasal dari sebuah peristiwa.
Pada awal pemerintahan Sultan La Elangi, di depan masjid keraton Wolio sekarang akan dibangun sebuah tempat pertemuan yang dalam bahasa Wolio disebut Baruga (Aula Pertemuan). Pada proses pembuatannya sultan menginginkan agar tiap tiang dari baruga tersebut menggunakan jenis kayu kualitas tinggi yang berbeda-beda. Akhirnya para prajurit menyebar ke seluruh negeri Buton untuk mencari jenis kayu yang diinginkan sultan tersebut. Setelah beberapa lama maka ditemukanlah jenis kayu yang diinginkan, namun dalam proses pemasangannya terdapat satu tiang yang masih kurang. Akhirnya Sultan kemudian memerintahkan kembali para prajurit dan pekerja untuk mencari kayu tersebut. Setelah sekian lama akhirnya ditemukan juga kayu tersebut. Maka sejak itu sultan menamakan daerah dimana tempat ditemukannya kayu tersebut dengan nama BARUTA yang berarti penggenap atau penambal. “Kayu Baruta” telah menambal atau menggenapi tiang yang masih kurang pada baruga. Lokasi kayu ditemukan terletak di sebuah teluk kecil tak berpenghuni di depan Balai Desa Baruta Lestari sekarang. Masyarakat setempat menyebut lokasi tersebut dengan nama KATAMBAKI yang mempunyai konotasi sama dengan BARUTA. Demikian ceritanya. (Sumber: Buku Induk Desa Baruta)
Versi lain juga mengisahkan bahwa pada awal abad ke-13 datang sebuah armada dari daerah Nusa Tenggara yang berjumlah 7 orang, terdiri dari 6 laki-laki dan 1 perempuan. Tempat pendaratan mereka pertama disebut WAMAGOTE (sebuah pelabuhan kecil di wilayah Desa Baruta Analalaki sekarang). Mereka hidup menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkap ikan yang masyarakat Baruta sebut “BUBU”, sejenis perangkap ikan yang dibuat dari anyaman bambu. Untuk mengenang daerah asal mereka maka wilayah yang ditempati sekarang mereka namakan BARUTA, karena konon nama daerah asal mereka adalah ARUTA. Cerita ini mungkin ada benarnya karena di Nusa Tenggara Timur bagian Utara terdapat sebuah kampung tua bernama ARUTA.

Kondisi geografis Baruta

Pada masa pemerintahan Sultan La Elangi yang bergelar Sultan Dayanu Ikhsanudin, tercatat banyak melakukan pembangunan dan perombakan sistem pemerintahan, antara lain membuat undang-undang martabat tujuh, membuat alat tukar yang disebut KAMPUA, memperluas pembangunan Benteng Keraton Buton, menciptakan pemerintahan KADIE, dan menghilangkan sistem PULANGA. Sistem PULANGA adalah system pemerintahan dimana seorang anak raja otomatis akan menjadi raja, oleh Sultan La Elangi merubahnya dengan system FALI (Pemilihan) dimana setiap bangsawan mempunyai hak untuk dipilih sebagai seorang Sultan.
Namun pada tulisan ini penulis akan coba menjelaskan program sultan yang berhubungan dengan sejarah Baruta saja yaitu sistem KADIE. KADIE dalam bahasa wolio berarti daerah/desa yang mempunyai kewenangan mengelola wilayahnya. Jumlah kadie pada pemerintahan kesultanan Buton berjumlah 72 kadie salah satunya adalah kadie Baruta. Pemerintahan Kadie dipimpin seorang Lakina, dari awal dibentuk sampai peleburan kesultanan Buton ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kadie Baruta telah dipimpin oleh 7 Lakina yang kesemuanya diangkat oleh sultan sendiri dan berasal dari keluarga istana (Baca: orang wolio). Lakina Baruta terakhir bernama La Ode Syajarah meninggal tahun 1979 dan dimakamkan di kelurahan Wajo kota Bau-bau, pada nisannya tertulis La Ode Syajarah (Lakina Baruta terakhir).
Pada masa kesultanan Buton, dalam kadie Baruta hanya terdapat dua daerah yaitu Baruta Analalaki dan Baruta Maradika. Kadie Baruta mempunyai wilayah pemerintahan yang berbatasan dengan:
• Sebelah barat berbatasan dengan kadie Boneoge (Kasakano koncu-lawana mbagulu)
• Sebelah utara berbatasan dengan kadie Bombonawulu (kaila)
• Sebelah timur berbatasan dengan selat Buton
• Sebelah selatan berbatasan dengan teluk Bau-bau (Kasakano koncu)
Untuk lebih jelasnya lihat gambar di atas


Secara umum kondisi alam Baruta adalah daerah pesisir pantai, tandus dan termasuk pulau karang, namun dalam daerah Baruta dapat juga kita jumpai daerah rawa-rawa seluas 21 Ha yang potensial untuk digunakan sebagai daerah pertanian. Kondisi tanah yang tandus dan berbatu tentu sangat tidak mendukung untuk dijadikan sebagai lahan pertanian yang memadai, masyarakat hanya bisa menanam jagung dan ubi sebagai bahan makanan pokok yang tentunya jumlah produksi dan kualitasnya sangat terbatas. Kondisi seperti ini akhirnya menjadikan mata pencaharian nelayan dan berdagang sebagai mata pencaharian utama masyarakat Baruta. Pedagang-pedagang Baruta tersebar di berbagai daerah di Indonesia, dan kosentrasi terbanyak terdapat di daerah Banggai dan Ternate.

Sosio-kultur masyarakat Baruta
Salah satu faktor yang membuat daerah Baruta lebih istimewa dalam pandangan masyarakat Buton umumnya adalah di daerah Baruta terdapat kuburan seorang tokoh agama kesultanan Buton yang bernama La Ode Ali dengan gelar La Ode Syiipa yang akrab di telinga masyarakat Baruta dengan nama Sangia Wambulu. Beliau dalam sejarah Buton disebutkan sebagai imam masjid agung keraton wolio pertama. Keberadaan beliau di tanah Baruta bukan tanpa alasan, kesultanan buton yang selalu tidak aman dari gangguan bajak laut Tobelo membuat sultan mengangkat seseorang yang bertugas sebagai penjaga “pintu” (Bamba) di daerah baruta dari serangan musuh. Konon menurut cerita yang lestari di masyarakat Baruta, sosok Sangia Wambulu adalah seorang yang mempunyai kesaktian tinggi dan beberapa kali berhasil menahan serangan Tobelo dan Belanda yang coba masuk menyerang pusat kesultanan Buton di Wolio.
Berbagai tradisi dan peninggalan budaya lainnya dari sangia wambulu masih tetap hidup dan lestari di tengah-tengah kehidupan masyarakat Baruta, antara lain acara Foma-Foma’a (makan-makan). Acara ini biasa dilaksanakan setelah perayaan hari raya idul fitri, masyarakat Baruta yang tersebar di berbagai daerah akan menjadikan momen ini sebagai waktu untuk pulang kampung dan bertemu sanak famili. Menurut sejarah, acara Foma-foma’a diselenggarakan dengan tujuan untuk menghibur para anak yatim, tentu sangat kita paham bahwa nuansa lebaran selalu mengingatkan kita dengan orang tua dan saudara-saudara kita. Melihat kondisi ini maka Foma-foma’a diadakan dengan mengumpulkan anak-anak yatim dan menghibur mereka dengan memberi makanan dan minuman yang lezat dan nikmat dengan harapan agar para anak yatim melupakan sejenak kesedihan mereka dan tetap merayakan idul fitri dengan tawa dan bahagia. Namun seiring perkembangan waktu, acara foma-foma’a tidak saja digunakan sebagai sarana menghibur anak yatim, tetapi digunakan juga sebagai momen untuk duduk bersama membicarakan perkembangan dan pembangunan daerah Baruta satu tahun ke depan. Tradisi yang lain yang masih tetap lestari adalah acara pernikahan menurut adat Baruta, pingitan (kalempagi), dan tradisi lainnya.

Perkembangan Agama Islam di Baruta
Kita sudah sama paham bahwa agama Islam masuk di tanah Buton pada awal abad ke-15 yang dibawa oleh syeh Abdul Wahid. Baruta yang masuk dalam wilayah kekuasaan kesultanan Buton tentunya ikut menjadikan agama ini sebagai agamanya. Namun perkembangan agama islam di daerah Baruta baru terasa pada tahun 1953 dengan hadirnya tiga ulama besar dari Bau-bau yang bernama KH. Asy’ari. KH. Ibrahim, dan KH. Syukur. Ketiga ulama inilah yang berjasa besar mengenalkan agama islam secara utuh kepada masyarakat Baruta. Masyarakat dikenalkan dengan syariat islam yang benar, para generasi muda diajarkan cara baca dan tulis al Quran, pohon-pohon enau (konau) banyak ditebang sebagai upaya meminimalisir penyebaran minuman konau (sejenis minuman keras dari sadapan pohon enau) yang diharamkan dalam agama islam dan menikahkan kembali beberapa pasang suami istri karena pernikahan sebelumnya dianggap tidak sesuai dengan syariat islam. Banyak tradisi kuno yang tidak sesuai dengan ajaran Islam coba mereka hilangkan, dan dengan itu masyarakat Baruta dikenal oleh daerah sekitar sebagai masyarakat yang sangat patuh menjalankan syariat islam. Beberapa tokoh masyarakat Baruta hasil didikan ketiga ulama ini mencoba mengamalkan ilmunya dengan mengajarkan syariat islam di daerah Liwuto (La Rahali), watooge/todanga (Lan Touna), barangka (La Ranse), dan kapontori.