Jumat, 14 Januari 2011

MENGENAL SEJARAH BARUTA





Perkembangan zaman yang semakin pesat telah mentahbiskan dirinya sebagai sesuatu tuntutan dan tantangan hidup yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Hal ini mengakibatkan pola pikir (mindset) manusia cenderung berpikir, bagaimana mempersiapkan diri agar mampu mengatasi dan memenuhi tuntutan hidup yang ada?, sehingga peristiwa masa lalu (history) seakan terabaikan dan tabu untuk dibincangkan. Tak dapat dipungkiri, sebagian masyarakat Baruta yang hidup sekarang ini, tidak lagi mengenal sejarahnya. Informasi yang semestinya tetap dianggap sebagai pusaka berharga yang harus diwariskan ke generasi selanjutnya telah tereduksi keberadaannya oleh ketidaktahuan generasi sebelumnya. Olehnya itu, penulis mencoba mengangkat tema ini dengan harapan tulisan ini dapat memberikan sedikit “cahaya” di tengah gelap dan suramnya sejarah Baruta, serta mampu menyingkap tabir ketidaktahuan kita tentang eksistensi Baruta sebagai bagian dari urat nadi sejarah Buton.

Banyak hal yang belum penulis masukan dalam tulisan ini karena keterbatasan ruang yang ada, masih banyak informasi yang masih butuh kajian ilmiah agar sejarah Baruta tidak tergusur ke dimensi dongeng yang hanya bisa dijadikan sebagai pengantar tidur si buah hati. Penulis sangat mengharapkan tanggapan dan masukan yang konstruktif agar sejarah Baruta semakin terang benderang dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Asal Kata “Baruta”
Baruta merupakan nama sebuah daerah yang sekarang terletak di kecamatan Sangia Wambulu Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Baruta (baca: rumpun bahuta) sekarang meliputi 4 desa (Desa Baruta, Baruta Lestari, Baruta Analalaki, dan Doda Bahari) merupakan hasil pemekaran dari Desa Baruta.
Menurut sejarah, penamaan Baruta diberikan oleh sultan ke-4 kesultanan Wolio, yang bernama Sultan Dayanu Ikhsanudin (La Elangi)memeruntah tahun 1578 - 1615. Berdasarkan ilmu bahasa, kata Baruta berasal dari bahasa wolio, terdiri dari dua suku kata yaitu kata “Baru” dan “ta”. Baru berasal dari kata “Baro” yang dalam dialek baruta menjadi Baho. Baro berarti penambal atau penggenap (Baro/baho: bahan yang digunakan para nelayan setempat untuk menambal perahu), Sedangkan kata “ta” berarti kepunyaan kita. Namun menurut salah satu tokoh masyarakat Baruta, La Rahali (Alm) menjelaskan bahwa arti baho sebagai penambal merupakan arti kiasan saja karena arti sebenarnya mengandung nilai sejarah/filosofis yang mulia. Penamaan tersebut berasal dari sebuah peristiwa.
Pada awal pemerintahan Sultan La Elangi, di depan masjid keraton Wolio sekarang akan dibangun sebuah tempat pertemuan yang dalam bahasa Wolio disebut Baruga (Aula Pertemuan). Pada proses pembuatannya sultan menginginkan agar tiap tiang dari baruga tersebut menggunakan jenis kayu kualitas tinggi yang berbeda-beda. Akhirnya para prajurit menyebar ke seluruh negeri Buton untuk mencari jenis kayu yang diinginkan sultan tersebut. Setelah beberapa lama maka ditemukanlah jenis kayu yang diinginkan, namun dalam proses pemasangannya terdapat satu tiang yang masih kurang. Akhirnya Sultan kemudian memerintahkan kembali para prajurit dan pekerja untuk mencari kayu tersebut. Setelah sekian lama akhirnya ditemukan juga kayu tersebut. Maka sejak itu sultan menamakan daerah dimana tempat ditemukannya kayu tersebut dengan nama BARUTA yang berarti penggenap atau penambal. “Kayu Baruta” telah menambal atau menggenapi tiang yang masih kurang pada baruga. Lokasi kayu ditemukan terletak di sebuah teluk kecil tak berpenghuni di depan Balai Desa Baruta Lestari sekarang. Masyarakat setempat menyebut lokasi tersebut dengan nama KATAMBAKI yang mempunyai konotasi sama dengan BARUTA. Demikian ceritanya. (Sumber: Buku Induk Desa Baruta)
Versi lain juga mengisahkan bahwa pada awal abad ke-13 datang sebuah armada dari daerah Nusa Tenggara yang berjumlah 7 orang, terdiri dari 6 laki-laki dan 1 perempuan. Tempat pendaratan mereka pertama disebut WAMAGOTE (sebuah pelabuhan kecil di wilayah Desa Baruta Analalaki sekarang). Mereka hidup menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkap ikan yang masyarakat Baruta sebut “BUBU”, sejenis perangkap ikan yang dibuat dari anyaman bambu. Untuk mengenang daerah asal mereka maka wilayah yang ditempati sekarang mereka namakan BARUTA, karena konon nama daerah asal mereka adalah ARUTA. Cerita ini mungkin ada benarnya karena di Nusa Tenggara Timur bagian Utara terdapat sebuah kampung tua bernama ARUTA.

Kondisi geografis Baruta

Pada masa pemerintahan Sultan La Elangi yang bergelar Sultan Dayanu Ikhsanudin, tercatat banyak melakukan pembangunan dan perombakan sistem pemerintahan, antara lain membuat undang-undang martabat tujuh, membuat alat tukar yang disebut KAMPUA, memperluas pembangunan Benteng Keraton Buton, menciptakan pemerintahan KADIE, dan menghilangkan sistem PULANGA. Sistem PULANGA adalah system pemerintahan dimana seorang anak raja otomatis akan menjadi raja, oleh Sultan La Elangi merubahnya dengan system FALI (Pemilihan) dimana setiap bangsawan mempunyai hak untuk dipilih sebagai seorang Sultan.
Namun pada tulisan ini penulis akan coba menjelaskan program sultan yang berhubungan dengan sejarah Baruta saja yaitu sistem KADIE. KADIE dalam bahasa wolio berarti daerah/desa yang mempunyai kewenangan mengelola wilayahnya. Jumlah kadie pada pemerintahan kesultanan Buton berjumlah 72 kadie salah satunya adalah kadie Baruta. Pemerintahan Kadie dipimpin seorang Lakina, dari awal dibentuk sampai peleburan kesultanan Buton ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kadie Baruta telah dipimpin oleh 7 Lakina yang kesemuanya diangkat oleh sultan sendiri dan berasal dari keluarga istana (Baca: orang wolio). Lakina Baruta terakhir bernama La Ode Syajarah meninggal tahun 1979 dan dimakamkan di kelurahan Wajo kota Bau-bau, pada nisannya tertulis La Ode Syajarah (Lakina Baruta terakhir).
Pada masa kesultanan Buton, dalam kadie Baruta hanya terdapat dua daerah yaitu Baruta Analalaki dan Baruta Maradika. Kadie Baruta mempunyai wilayah pemerintahan yang berbatasan dengan:
• Sebelah barat berbatasan dengan kadie Boneoge (Kasakano koncu-lawana mbagulu)
• Sebelah utara berbatasan dengan kadie Bombonawulu (kaila)
• Sebelah timur berbatasan dengan selat Buton
• Sebelah selatan berbatasan dengan teluk Bau-bau (Kasakano koncu)
Untuk lebih jelasnya lihat gambar di atas


Secara umum kondisi alam Baruta adalah daerah pesisir pantai, tandus dan termasuk pulau karang, namun dalam daerah Baruta dapat juga kita jumpai daerah rawa-rawa seluas 21 Ha yang potensial untuk digunakan sebagai daerah pertanian. Kondisi tanah yang tandus dan berbatu tentu sangat tidak mendukung untuk dijadikan sebagai lahan pertanian yang memadai, masyarakat hanya bisa menanam jagung dan ubi sebagai bahan makanan pokok yang tentunya jumlah produksi dan kualitasnya sangat terbatas. Kondisi seperti ini akhirnya menjadikan mata pencaharian nelayan dan berdagang sebagai mata pencaharian utama masyarakat Baruta. Pedagang-pedagang Baruta tersebar di berbagai daerah di Indonesia, dan kosentrasi terbanyak terdapat di daerah Banggai dan Ternate.

Sosio-kultur masyarakat Baruta
Salah satu faktor yang membuat daerah Baruta lebih istimewa dalam pandangan masyarakat Buton umumnya adalah di daerah Baruta terdapat kuburan seorang tokoh agama kesultanan Buton yang bernama La Ode Ali dengan gelar La Ode Syiipa yang akrab di telinga masyarakat Baruta dengan nama Sangia Wambulu. Beliau dalam sejarah Buton disebutkan sebagai imam masjid agung keraton wolio pertama. Keberadaan beliau di tanah Baruta bukan tanpa alasan, kesultanan buton yang selalu tidak aman dari gangguan bajak laut Tobelo membuat sultan mengangkat seseorang yang bertugas sebagai penjaga “pintu” (Bamba) di daerah baruta dari serangan musuh. Konon menurut cerita yang lestari di masyarakat Baruta, sosok Sangia Wambulu adalah seorang yang mempunyai kesaktian tinggi dan beberapa kali berhasil menahan serangan Tobelo dan Belanda yang coba masuk menyerang pusat kesultanan Buton di Wolio.
Berbagai tradisi dan peninggalan budaya lainnya dari sangia wambulu masih tetap hidup dan lestari di tengah-tengah kehidupan masyarakat Baruta, antara lain acara Foma-Foma’a (makan-makan). Acara ini biasa dilaksanakan setelah perayaan hari raya idul fitri, masyarakat Baruta yang tersebar di berbagai daerah akan menjadikan momen ini sebagai waktu untuk pulang kampung dan bertemu sanak famili. Menurut sejarah, acara Foma-foma’a diselenggarakan dengan tujuan untuk menghibur para anak yatim, tentu sangat kita paham bahwa nuansa lebaran selalu mengingatkan kita dengan orang tua dan saudara-saudara kita. Melihat kondisi ini maka Foma-foma’a diadakan dengan mengumpulkan anak-anak yatim dan menghibur mereka dengan memberi makanan dan minuman yang lezat dan nikmat dengan harapan agar para anak yatim melupakan sejenak kesedihan mereka dan tetap merayakan idul fitri dengan tawa dan bahagia. Namun seiring perkembangan waktu, acara foma-foma’a tidak saja digunakan sebagai sarana menghibur anak yatim, tetapi digunakan juga sebagai momen untuk duduk bersama membicarakan perkembangan dan pembangunan daerah Baruta satu tahun ke depan. Tradisi yang lain yang masih tetap lestari adalah acara pernikahan menurut adat Baruta, pingitan (kalempagi), dan tradisi lainnya.

Perkembangan Agama Islam di Baruta
Kita sudah sama paham bahwa agama Islam masuk di tanah Buton pada awal abad ke-15 yang dibawa oleh syeh Abdul Wahid. Baruta yang masuk dalam wilayah kekuasaan kesultanan Buton tentunya ikut menjadikan agama ini sebagai agamanya. Namun perkembangan agama islam di daerah Baruta baru terasa pada tahun 1953 dengan hadirnya tiga ulama besar dari Bau-bau yang bernama KH. Asy’ari. KH. Ibrahim, dan KH. Syukur. Ketiga ulama inilah yang berjasa besar mengenalkan agama islam secara utuh kepada masyarakat Baruta. Masyarakat dikenalkan dengan syariat islam yang benar, para generasi muda diajarkan cara baca dan tulis al Quran, pohon-pohon enau (konau) banyak ditebang sebagai upaya meminimalisir penyebaran minuman konau (sejenis minuman keras dari sadapan pohon enau) yang diharamkan dalam agama islam dan menikahkan kembali beberapa pasang suami istri karena pernikahan sebelumnya dianggap tidak sesuai dengan syariat islam. Banyak tradisi kuno yang tidak sesuai dengan ajaran Islam coba mereka hilangkan, dan dengan itu masyarakat Baruta dikenal oleh daerah sekitar sebagai masyarakat yang sangat patuh menjalankan syariat islam. Beberapa tokoh masyarakat Baruta hasil didikan ketiga ulama ini mencoba mengamalkan ilmunya dengan mengajarkan syariat islam di daerah Liwuto (La Rahali), watooge/todanga (Lan Touna), barangka (La Ranse), dan kapontori.

4 komentar:

  1. semogga saja DESA BARUTA dari tahun ke tahun selalu berkembang agar bisa unggul dari desa desa lain yang ada di BUTON TENGGAH.

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum izin bertanya. Apakah betul sejarah doda bahari waktu itu ada pendatang dari daerah kalialia,yang datang ke doda bahari yang hanya dijadikan babu.?

    BalasHapus