Selasa, 18 Januari 2011

Think-Pair-Share (TPS)

Mengajukan pertanyaan selama pembelajaran di kelas adalah cara yang tepat untuk melibatkan siswa secara aktif, mengukur pemahaman siswa, atau mengarahkan siswa dalam menerapkan pengetahuan baru. Salah satu strategi yang memadukan pola berpikir individu dan kelompok adalah Think-Pair-Share (TPS). Strategi ini dikembangkan oleh Frank Lyman dari university of Maryland (Slavin, 2005: 132).

Pembelajaran Think Pair Share memiliki prosedur yang diterapkan secara eksplisit untuk memberikan siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab dan saling membantu satu sama lain. Dalam strategi ini guru hanya berperan sebagai fasilitator sehingga guru menyajikan satu materi dalam waktu pembahasan yang relatif singkat. Setelah itu giliran siswa untuk memikirkan secara mendalam tentang apa yang telah dijelaskan

Slavin (2005: 132) menjelasan bahwa,
when the teacher presents a lesson to the class, student sit in pairs within their teams. The teacher poses questions to the class. Students are instructed to think of an answer on their own, then to pair with their partner to reach consensus on an answer. Finally, the teacher asks students to share their agreed-upon answer with the rest of the class.

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa ketika guru mengajar di kelas, siswa duduk berpasangan dalam timnya. Guru mengajukan pertanyaan dalam kelas. Siswa diarahkan untuk memikirkan sebuah jawaban dari mereka sendiri, kemudian duduk berpasangan dengan pasangannya untuk mencapai suatu jawaban yang disepakati. Terakhir guru meminta siswa untuk berbagi pendapat dengan kelompok lain dalam kelas.

Menurut Arends & Kilcher (2010: 316),

In Think–Pair–Share, the teacher poses a question, individual students think about (and record) their answer. Individuals then pair with another student to share their answer. The teacher calls on individuals or pairs to share with the large group.

Dalam Think-Pair-Share, guru mengajukan sebuah pertanyaan, setiap siswa berpikir (dan mengingat) tentang jawabannya. Setiap siswa kemudian berpasangan dengan siswa lainnya untuk berbagi jawaban. Guru menyebut salah satu siswa atau pasangan untuk berbagi dengan kelompok yang lebih besar.

Kinzie & Markovchick (2005: 1) menjelaskan,
Think-Pair-Share: This strategy is designed to encourage student involvement. First, participants listen to the teacher's question. Then they think of a response. They pair up with someone and discuss their responses. Finally, they are asked to share their responses with the whole group. Usually a time limit is set for each step.

Pernyataan di atas mengandung makna bahwa Think-Pair-Share merupakan strategi yang dirancang untuk mendorong keterlibatan siswa. Pertama, siswa mendengarkan pertanyaan guru. Kemudiak memikirkan sebuah jawabannya. Mereka berpasangan dengan seorang siswa lainnya dan mendiskusikan jawaban mereka. Terakhir, mereka diminta untuk menjelaskan atau berbagi jawaban dengan keseluruhan kelompok. Pada umunya tiap tahap ditentukan waktunya

Menurut Ledlow (2001: 1),

Think-Pair-Share is a low-risk strategy to get many students actively involved in classes of any size. The procedure is simple: after asking a question, tell students to think silently about their answers. As a variation, you might have them write their individual answers. (Depending on the complexity of the question and the amount of time I think is appropriate for the activity, I give them anywhere from 10 seconds to five minutes to work individually.) Then ask them to pair up with a partner to compare or discuss their responses. Finally, call randomly on a few students to summarize their discussion or give their answer.

Menuru Ledlow, Think-Pair-Share adalah strategi berisiko rendah untuk mendapatkan banyak siswa secara aktif terlibat dalam kelas dari berbagai ukuran. Prosedurnya sederhana: setelah mengajukan pertanyaan, guru memberitahu siswa untuk berpikir tentang jawabannya dengan diam atau tanpa bertanya pada teman. Sebagai variasi, siswa dapat diarahkan untuk menulis jawaban masing-masing. (Tergantung pada kompleksitas dari pertanyaan dan jumlah waktu, saya pikir cocok untuk kegiatan ini diberikan waktu dari 10 detik sampai lima menit untuk bekerja secara individual.) Kemudian minta para siswa untuk berpasangan dengan pasangannya untuk membandingkan atau mendiskusikan tanggapan mereka. terakhir, guru memanggil secara acak beberapa siswa untuk meringkas diskusi mereka atau memberi jawaban mereka.

Rahvard (2010: 4) menjelaskan bahwa,

Think-Pair-Share is helpful because it structures the discussion. Students follow a prescribed process that limits off-task thinking and off-task behavior, and accountability is built in because each must report to a partner, and then partners must report to the class.

Think-Pair-Share sangat membantu karena diskusinya terstruktur. Siswa mengikuti sebuah proses yang ditentukan dengan membatasi pemikiran off-task dan off-task behavior, dan akuntabilitas yang dibangun karena masing-masing harus melaporkan kepada seorang pasangan, dan kemudian pasangan harus melaporkan kepada kelas.

Arends & Kilcher (2010: 247) menjelaskan tahapan penerapan TPS,

TPS consists of three steps:
• Step 1, Thinking: The teacher poses a question or issue and asks students to spend a few minutes thinking by themselves.
• Step 2, Pairing: Next, students are asked to pair with another student and discuss what they have been thinking about. Four or five minutes are normally allocated for this step.
• Step 3, Sharing: Pairs of students are then asked to share what they have been discussing with the whole class. They are asked to report not only the content of the discussion but also about the way they have been thinking.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Think-Pair-Share terdiri dari tiga tahap:
1. Thingking: Guru mengajukan sebuah pertanyaan atau isu dan meminta setiap siswa mempergunakan waktu beberapa menit untuk memikirkan jawaban mereka secara mandiri untuk beberapa saat.
2. Pairing: selanjutnya, siswa diminta untuk berpasangan dengan siswa lain dan meminta mendiskusikan apa yang telah dipikirkan pada tahap pertama. 4 – 5 menit adalah waktu normal yang diberikan untuk tahap ini. Interaksi yang diharapkan adalah siswa dapat berbagi jawaban dari pertanyaan atau ide bila persoalan telah diidentifikasi
3. Sharing: sepasang siswa kemudian diminta untuk berbagi dan mereka mendiskusikannya dengan seluruh siswa dalam kelas. Mereka diminta tidak hanya mendiskusikan isinya tetapi juga tentang cara mereka memikirkannya.
Salah satu ciri pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) adalah kemampuan siswa untuk bekerja sama dalam kelompok kecil yang heterogen. Masing-masing anggota dalam kelompok memiliki tugas yang setara. Karena pada pembelajaran kooperatif keberhasilan kelompok sangat diperhatikan, maka siswa yang pandai ikut bertanggung jawab membantu temannya yang lemah dalam kelompoknya. Dengan demikian, siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilannya, sedangkan siswa yang lemah terbantu dalam memahami permasalahan yang diselesaikan dalam kelompok tersebut.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat kita simpulkan bahwa pada pembelajaran cooperative learning type Think-Pair-Share (TPS), siswa dikelompokan secara berpasangan, dapat berpasangan antara satu siswa dengan satu siswa, satu siswa dengan dua siswa, atau dua siswa dengan dua siswa, yang mengakibatkan terjadinya stimulus dan respon diantara siswa tersebut. Dalam pengelompokannya, siswa dipasangkan secara heterogen berdasarkan nilai awal mereka yang bertujuan untuk mengefektifkan proses belajar kelompok.
Model ini memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir sendiri terlebih dahulu sebelum bekerjasama dengan kelompoknya dan berbagi ide. Maksud dari berbagi ide adalah setiap siswa saling memberikan ide atau informasi yang mereka ketahui tentang masalah yang diberikan untuk memperoleh kesepakatan terkait pemecahana suatu masalah.
Sistem penilaian pada cooperative learning type TPS telah mengadaptasi skor kemajuan Slavin, seperti yang dijelaskan Arends & Kilcher (2010: 320)


Kagan (1994) has adapted Slavin’s improvement scoring system. He believes that students should receive two scores on quizzes and assignments: an individual score (in a square) and an improvement score (in a circle). Students are given 0, 1, 2, or 3 points each week, depending on how much they improve. Students who get 100 always get three points, and those who score between 95 and 99 get at least two points.


Kagan (1994) telah mengadaptasi sistem skor perbaikan Slavin. Ia percaya bahwa siswa harus menerima dua nilai pada kuis dan tugas: skor individu (dalam persegi) dan skor perbaikan (dalam lingkaran). Siswa diberi 0, 1, 2, atau 3 poin setiap minggu, tergantung pada seberapa banyak mereka memperbaiki. Siswa yang mendapatkan 100 selalu mendapatkan tiga poin, dan mereka yang skor antara 95 dan 99 mendapatkan setidaknya dua poin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar