Selasa, 01 Desember 2009

Ketika Diriku tidak Mampu Bertanya

Oleh : Syahrul

Akhir - akhir ini, aku seperti terasing dengan diriku sendiri. Beragam seliweran fenomena yang sejatinya memicu banyak pertanyaan, tak lagi mendapat respon berimbang dari ruang akal kuatku. Semua informasi tertelan mentah-mentah tanpa filter apalagi berupa pertanyaan kritis. Sungguh, aku telah kehilangan daya untuk bertanya !


Aku yakin bahwa ini bukanlah salah lingkungan yang terlanjur mentahbiskan aku sebagai mata air jawaban bagi semua pertanyaan di sekelilingku. Menurutku, kebiasaan menjawab Tanya dan menjadi bagian solusi, tidaklan serta merta mematikan kesempatan dan potensi untuk melahirkan pertanyaan. Aku pun jadi risau!

Prasangka, sebagai salah satu informan terdekatku, segera hadir membawa jawaban atas kemasgulanku

Prasangka :
“ Saya mengira, ini akibat dari dampak lanjutan el Nino tahun ini. Elnino telah menggembosi tanaman pertanyaan di ladang nalar Tuan. Tanaman akhirnya banyak fuso, sehingga nalar menjadi tak berdaya untuk melakukan pekerjaan rutinnya : Merangkai huruf.
Kamus besar yang biasanya mengalami inflasi pertanyaan, pun menjadi kosong . Produksi pertanyaan lumpuh.Kondisi ini semakin mengokohkan eksistensi huruf sebagai koleksi sejarah sekaligus penjaga kesucian tanpa makna. “
Aku manggut-manggut mendengar prognosa prasangka . Ya, episentrum persoalannya mungkin ada di sekitar ladang nalar. Agar konklusi menjadi lebih lengkap saya segera menggelar rapat dengan elemen-elemen terdekat yang terkait masalah ini. Aku mengundang perwakilan mata, telinga, nalar, darah, pembuluh darah, lidah, bibir, dan hati untuk mendengarkan testimoninya dan hasil investigasi mereka. Karena elemen ini terdiri dari 8 unsur maka mereka saya sebut sebagai : “ Tim delapan”
Rapat pun dimulai, dan mata mendapat kesempatan pertama untuk mengemukakan pendapatnya.
Mata :
“…Siang hari, aku takut membuka penglihatan karena hantu-hantu perampok uang rakyat banyak yang gentayangan. Sementara malam hari, ketika ketakutan telah pergi, aku tidak bisa melihat dengan normal karena listrik selalu padam . Akibatnya yang salah aku lihat benar , dan yang benar aku lihat salah.”

Telinga :
“…sudah beberapa minggu ini, aku selalu menutup pintu pendengaranku. Saya takut dilapor anggodo ke polisi bodoh lantaran telah ikut mendengarkan rekaman percakapannya, pada saat persidangan terbuka Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu. Anggodo kuat, sementara aku tak lebih kuat dari seekor cicak. Disamping itu aku juga selalu menutup pendengaranku karena takut mendengar kabar lagi bahwa di negeri yang kaya raya ini masih ada orang yang meregang nyawa akibat busung lapar.”

Nalar :
“ …Energi pembangkitku menjadi tak berfungsi ketika ku gagal menemukan jawaban atas pertanyaan : Kenapa di negeri yang melimpah sumber daya alamnya ini, garam saja harus impor “

Pembuluh Darah :
“… Saya tidak bisa membuka jalan yang lebar bagi lancarnya distribusi darah ke nalar, tersebab di pingir-pinggir jalan sudah terlanjur padat dengan perumahan penduduk , sementara, aku alergi dengan gusur mengusur.”

Darah :
“… Aku tidak lancar mengirimkan sari-sari makanan ke nalar agar ia bisa berfungsi optimal karena aku selalu terjebak kemacetan di jalan raya. Bahkan, di jalan tol yang konon “ bebas hambatan “ pun , masih selalu ada antrian panjang kendaraan.“

Lidah :
“ …Aku tidak berani berkata-kata, takut dituding intervensi. Aku juga takut berkata jujur karena kalau terus terang maka aku akan segera menyusul rekan-rekanku masuk bui. Biarlah aku digelari pengecut !.”

Bibir :
“…Aku tidak berani membuka diri sebab aku takut lipstick yang aku kenakan menjadi luntur . Lunturnya lipstikku akan mengurangi manisnya janji-janji yang rajin aku ucapkan di depan khalayak . Ini tentu tak baik dan dapat mengurangi popularitasku.“

Hati :
‘…Menurutku, persolan ini seperti kirisis listrik yang terjadi di negeri kita. Episentrum masalahnya tidak saja terjadi pada sub system pembangkit, namun mulai dara pemasok bahan bakar, pilihan jenis bahan bakar, jenis pembangkit , maintenance pembangkit dan jaringan distribusinya, manajemen, regulasi hingga prilaku pengguna listrik . atau ringkasnya reformasi harus segera dilakukan total di semua lini dan tingkatan. Persoalan tidak berfungsinya lagi pabrik yang memproduksi Tanya, itu ada disemua system pertanyaan itu. Tidak cukup kalau hanya memperbaharui atau menambah atau mengganti pembangkit saja, tapi perlu perbaikan yang menyeluruh, terpadu, sistematis, dan terrencana. Aksi mogok kerja yang dilakukan mata, telinga, lidah dan bibir sebagai ekspresi keprihatinan , tentu kita mesti apresiasi sebagai buah demokrasi yang sedang mekar. Tetapi, kalau demokrasi berbuah terlalu lebat, itu malah kontraproduktif terhadap tingkat stabilitas system secara komprehensif .“

Aku bangga bercampur haru mendengar keterangan anggota Tim delapan. Setelah menyimak dengan seksama semua penuturan mereka aku menutup pertemua ini dengan satu kesimpulan bahwa perlu ada perbaikan secara menyeluruh di semua subsistem terkait dengan matinya pertanyaan. Bola sekarang ada di kakiku. aku tidak akan mengoper nya lagi, karena aku telah berada di depan gawang dan siap mencetak gol.

Aku bersyukur memilki tim delapan yang mampu berkata jujur ,Walaupun pahit . Mari kita berdoa kepada yang maha Kuasa, semoga makin banyak orang di begeri ini yang mampu membangun istana kejujuran di dalam mahligai kehidupan mereka sehingga cita-cita untuk menciptakan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial, tidaklah sebatas impian. Amin…



Sumber :

- Surat Kabar KOMPAS edisi Jumat, 27 November 2009
- Surat Kabar KOMPAS edisi Sabtu, 28 November 2009
- www.powermathematics.blogspot.com

2 komentar:

  1. Ass.Pak Syahrul tulisan Bapak bisa diteruskan dengan menambah referensi. Trim

    BalasHapus
  2. alaikum Salam Wr.Wb
    Terima Kasih pak atas sarannya

    BalasHapus