Selasa, 08 Desember 2009

Ontologi Diriku

Oleh : Syahrul

Sekumpulan kecil arus air turun dari ketinggian gunung, jauh di atas sana melalui sejumlah desa dan hutan, hingga ia mencapai padang pasir. Arus kecil itu lalu berpikir, "Aku telah melewati begitu banyak rintangan. Tentunya tidak ada masalah buat aku melintasi padang pasir ini!" Namun ketika ia memutuskan untuk memulai perjalanannya, ia menemukan dirinya menghilang secara perlahan-lahan ke dalam padang pasir. Setelah mencoba berkali-kali, ia masih tetap menemukan dirinya yang menghilang dan merasa sangat sedih. "Mungkin ini nasibku! Aku tidak memiliki nasib untuk mencapai lautan luas seperti dalam legenda," ia menggerutu dan mengutuk dirinya.

Pada waktu itu, terdengar suara yang dalam, "Jika awan dapat melewati padang pasir, tentunya sungai juga bisa."

Kedengarannya seperti suara padang pasir. Tidak begitu yakin, arus kecil menjawab, "Itu karena awan dapat terbang, tapi aku tidak bisa."

"Itu karena kamu melekat pada dirimu. Jika kamu benar-benar hendak melepaskannya, dan biarkan dirimu menguap, ianya akan menyeberang, dan kamu akan mencapai tujuanmu," kata padang pasir dengan suara yang dalam.

Arus kecil tidak pernah mendengar hal seperti ini. "Melepaskan diriku sekarang dan menghilang ke dalam bentuk awan? Tidak! Tidak!" Ia tidak dapat menerima gagasan demikian. Lagipula, ia tidak pernah mengalami hal demikian sebelumnya. Bukankah itu merupakan penghancuran diri untuk menyerah dari bentuk yang ia miliki sekarang?

"Bagaimana aku tahu bahwa saran ini benar adanya?" tanya arus kecil.

"Awan dapat membawa dirinya menyeberangi padang pasir dan melepaskannya sebagai hujan di tempat yang tepat. Hujan akan membentuk sungai lagi untuk meneruskan perjalanannya," demikian jawaban dari padang pasir dengan sabar.

"Akankah aku masih seperti diriku sekarang?" tanya arus kecil.

"Ya, dan tidak. Apakah kamu sebagai sungai atau uap yang tak kasat mata, hakekat diri kamu tidak akan pernah berubah. Kamu melekat pada kenyataan bahwa kamu adalah sungai karena kamu tidak mengetahui hakekat diri kamu," jawab padang pasir.

Jauh di dalam sanubarinya, arus kecil teringat bahwa sebelum ia menjadi sungai, kemungkinan juga ia adalah awan yang membawa dirinya hingga ke atas gunung, di mana ia berubah menjadi hujan dan jatuh ke tanah dan menjadi dirinya sekarang ini. Akhirnya arus kecil mengumpulkan keberaniannya dan berlari ke dalam rangkulan awan yang membawanya ke perjalanan hidup berikutnya.

Perjalanan hidup kita seperti halnya pengalaman dari arus kecil. Jika manusia ingin melewati setiap rintangan dalam hidupnya guna mencapai tujuan dari Kebenaran, Kebajikan dan keindahan, maka manusia juga harus memiliki kebijaksanaan dan keberanian untuk melepaskan sifat ke-aku-an (kelekatan pada diri Anda).

Beberapa hal yang bisa kita jadikan pelajaran dari perjalanan arus tadi adalah , bahwa Segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia merupakan perputaran yang berporos pada ke AKU-an. Segala bentuk perebutan kekuasaan dan peperangan karena terdorong oleh ke-AKU-annya! Siapa yang dapat membantah?”
Nah, yang menjadi masalah, Apa bedanya ke-AKU-an yang melekat pada diriku, keluargaku negaraku, dan lain sebagainya, yang berporos kepada AKU. Permusuhan dan tidak mau saling mengalah, tak lain tak bukan karena masing-masing membela ke-AKU-annya. Hapuslah kata-kata AKU dan dunia akan aman, manusia akan hidup penuh damai, tidak akan terjadi perebutan karena lenyap pula istilah milikku, hakku dan aku-aku lain lagi.

Penyakitku juga sama dengan penyakit manusia lain, yaitu penyakit AKU. Penyakit yang sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi olehku, mempengaruhi setiap gerak-gerik dan sepak terjangku. Ini pula yang menimbulkan watakku terkadang licik dan rendah. Kalau senang, ingin senang sendiri. Kalau susah, ingin mencari kawan, bahkan kesusahan menjadi ringan seolah-olah terhibur oleh kesusahan orang lain . Inilah jahatnya sifat AKU yang menimbulkan rasa sayang diri, rasa iba diri, perasaan-perasaan yang selalu berputar pada poros ke-AKU-annya. Contohnya yang lebih jelas, orang yang mempunyai keluarga tercinta sakit parah akan menderita kesengsaran batin yang hebat. Akan tetapi bagaimana kalau melihat ribuan orang lain sakit? Tentu tidak ada penderitaan batin seperti yang dirasakannya kalau keluarganya yang sakit. Timbul pertentangan-pertentangan dalam hidup antar manusia karena saling membela AKU-nya. Timbul perang di antara negara karena saling membela AKU-nya pula. Manusia menjadi tidak aman dan tidak tenteram hidupnya karena dikuasai oleh AKU-nya inilah, tidak sadar bahwa yang menguasainya itu bukanlah AKU SEJATI, melainkan aku darah daging yang bergelimang nafsu-nafsu badani. Cobalah sejenak berhenti berpikir dan coba dengarkan betapa AKU SEJATI mengeluh dalam tangisnya!

Aku pun selalu berusaha untuk tidak pernah menonjolkan diri. Aku berusaha untuk menjadi manusia bebas, akan tetapi, …betapa sukarnya dan betapa tidak mungkinnya usaha itu. Hidup sendiri sudah tidak bebas. Kita terbelenggu oleh kebudayaan, oleh agama, oleh hukum-hukum yang diciptakan manusia hanya untuk menyerimpung kaki manusia sendiri. Di mana kebebasan? Aihhhh, aku pun rindu kebebasan, seperti Aku sejati….!” . Namun kesadaran hanya terlihat di atas awan, kita sering terbuai untuk meraihnya di ketinggian, tetapi lupa menanamnya di bumi kenyataan

Inilah yang membuat hatiku selalu menjadi gelisah menyaksikan betapa makin lama manusia makin menjerat leher sendiri, membelenggu tangan kaki sendiri dengan hukum-hukum dan aturan-aturan sehingga beberapa ribu tahun lagi manusia tak dapat bergerak tanpa melanggar hukum! Betapa bayi takkan menangis begitu terlahir, menghadapi semua belenggu ini? Begitu terlahir, tubuhnya sudah dibelenggu kain-kain penutup tubuh, menyusul peraturan dan hukum-hukum yang tiada putusnya. Ada hukum ada pelanggaran, diperkenalkan yang buruk, mengerti tentang kesucian berarti mengerti tentang kedosaan. Aihhh, betapa repot hidup ini!

Aku adalah seorang manusia, dan aku menjadi manusia bukan atas kehendakku! Aku sudah ada dan aku harus bangga dengan keadaanku, harus berjuang mempertahankan keadaanku dan menyempurnakan keadaanku!. Pelajaran seperti ini memperkuat batinku, memperbesar kepercayaan kepada tuhanku karena Allah takkan menolong manusia yang tidak berusaha menolong dirinya sendiri. Usaha atau ikhtiar merupakan kewajiban manusia yang sekali-kali tidak boleh dihentikan selama dia hidup. Semoga Allah SWT menjadikanku sebagai manusia yang senantiasa dapat mengontrol ke-Aku-an dalam diriku sehingga aku dapat memandang dengan jelas bahwa kewajibanku adalah Mengabdi dan Menyembah Kepada Illahi Robbi. Amin…!.

Sumber :
- Rizal-Misna, 2008, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajara Yogyajarta, Yogyakarta
- Louis O. Katttsoff, 2004, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta
http://www.godsdirectcontact.or.id
http://www.hakikatmanusia.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar